BUKUCERSIL KHO PING HOO. DOWNLOAD CERITA SILAT PDF FILE BETAMIXE. BUKU CERITA SILAT GAN K L. CERITA SILAT KAKEK SEGALA TAHU KHO PING HOO. KHO PING HOO CERITA SILAT SERIALSILAT WEEBLY COM. ASMARAMAN S KHO PING HOO Serial Bu Kek Siansu 01 Bu Kek Siansu 02 Suling Emas 03 Cinta Bernoda Darah 04 Mutiara Hitam 05 Istana Pulau Es 06 Home Art & Photos Suling Emas Naga Siluman_Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Download Embed Size px TRANSCRIPT 1. Suling Emas Naga Siluman 2. uncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan. Salju yang menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma Mount Everest, Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni. Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan. Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tidak ada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi. Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan- hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali. Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari Negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan. Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi meter, dan Kancen Kincin Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera. P 3. Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet, sungguhpun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruhburuh tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini. Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena hawa amatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah. Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga narnpak otototot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang. Sudah lelah? Heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah semangat? temannya menegur. Laki-laki yang bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah-olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat disuka oleh para petani miskin. Wahai Yolmo Lungma yang tinggi! Ahoi, Yalu Cangpo yang panjanq! Dapatkah kalian memberi jawaban? Kedua tangan ku kuat bekerja berat namun tiada seperseratus yang dihasilkannya menjadi bagianku untuk makan! Aku punya hati 4. suaranya membeku di mulut, telingaku disuruh tuli mataku disuruh buta nyawaku lebih murah daripada seekor domba! Wahai, Yolmo Lungma sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi! Ahaoi, Yalu Cangpo, tenggelamkan aku di airmu yang dalam! Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung. Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biarpun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para petani. Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun- lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang terkenal sebagal satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguhpun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di lereng Pegunungan Kunlun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang. Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang. Dia pun seorang tosu dari aliran lain, akan tetapi merupakan sahabat baik dari Hok 5. Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam Sepasang Pedang Terbang. Dari julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui- siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya. Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh itu, sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya, daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik , para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melakukan suatu berita yang datangnya dari kotaraja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana kerajaan! Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kotaraja karena pedang pusaka kerajaan, satu di antara pusakapusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam Pedang Pusaka Naga Siluman itu telah hilang dari tempatnya! Tentu saja gegerlah kotaraja. Pedang ini dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang-orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan! Koailiong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa melindungi keamanan atau keagungan keluarga Kaisar, akan tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan kepalang! 6. Maka, bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya dan mengembalikan pedang Koai- liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri! Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw berbondong- bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Setidaknya, mereka akan memperoleh tambahan pengalaman dan daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan! Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Adapun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat! Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liongpokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali. Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan-pembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaekat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka. Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liongpokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka merekapun datang berkunjung dan 7. melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Namun, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing. Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tidak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui- siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia sampai berada di situ pura karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang. Siancai...! kata tosu muda ini. Agaknya di ujung dunia yang manapun, kita selalu akan berte mu dengan manusiamanusia yang berkeluh kesah dan merasa hidupnya sengsara! Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu. Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno, kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menerjemahkan lagu itu dalam bahasa Han. Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khi-kang yang cukup kuat. Yolmo Lungma tinggi agung karena hening Yalu Cangpo panjang tenang karena hening manusia dengan segala kesibukannya membuat gaduh, kacau dan sengsara, sekali tidak puas selamanya tidak akan puas! Aih... sebelum hayat meninggalkan badan tak mungkinkah mengenal kecukupan? 8. Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah? Hok Keng Cu bertanya. Ciok Kam tosu menarik napas panjang Sebagian juga mencela kita sendiri, To-heng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini? Sebelum dua orang temannya itu ada yang menjawab, tibatiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah, Ahooii... kalian yang berada dibawah! Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet. Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu, segera berteriak dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing, Sobat, kau mau apakah? Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan kini dia berkata lagi, Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya! Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring, Terima kasih atas pemberitahuanmu.... Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandang mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu. Ah, apakah yang dikatakan orang itu tadi? tanya Cioktosu kepada dua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut. Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu? tanyanya, Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga membasminya! Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita! kata Hok Keng Cu. Hemm, kalau begitu dia iblis? tanya Ciok-tosu dengan heran. 9. Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor mahluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mujijat, tidak masuk akal! Ehhh...? Tosu muda itu makin kaget. Pinto aku rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi, Kongmaa La itu, sungguhpun sebenarnya paling baik kalau mengambil jalan dari gunung itu di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui, kata pula Hok Keng Cu. To-heng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu? tanya Ciok Kam. Yang ditanya menggeleng kepala. Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti. Kalau begitu, mengapa Ji-wi To-heng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya! Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandaipun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan, gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi mahluk seperti itu? Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali. Seperti apa macamnya, To-heng? Aku ingin sekali melihatnya, Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam- macam. Ada yang bilang seperti biruang, ada yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia! Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, Ahh, jangan-jangan mayat-mayat yang kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia! 10. Dua orang sahabatnya termenung dan menganggukangguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka. Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To- yu. Tapi... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam. Ciok-tosu membantah. Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang manapun juga! kini Hok Ya Cu ikut bicara. Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka. Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan, di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak- puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguhpun sinar matahari cukup cerah di pagi itu. Disebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran. Gunung apakah itu? Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya. Itulah Kongmaa La... jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jerih, Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, meainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan 11. sikap demikian takut dan pengecut? Sikap dua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya. Pinto mau mendarat di sana! tiba-tiba dia berkata Ehh...? Hok Keng Cu berseru. Berbahaya sekali, Ciok-Toyu! seru Hok Ya Cu menyambung. Kalau Ji-wi To-heng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La! Melihat dua orang sahabatnya itu saling pandang dan meragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu menyambung. Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong- pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka! Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut saling pandang, mengangguk-angguk, kemudian Hok Keng Cu berkata. Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La! Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suhengnya. Mereka lalu mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak. Ini namanya Lembah Arun! kata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu. Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas. Betapa hebatnya kekuasaan To! dia menggumam, takjub dan terpesona oleh keindahan itu. Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tidak ada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, 12. keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding- banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabdikannya dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan! Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemujijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon- pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber- sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib. Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoretis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu! Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih. Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur. Lembah Arun adalah lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini, suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh 13. luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia. Di depan, adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang. Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satusatunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini! kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu. Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan mahluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu. To-heng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu? Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan mahluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan mahluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya mahluk. Jadi Yeti dinamakan mahluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet. Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi. Mengapa dinamakan mahluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan? 14. Sstt... Toyu, hati-hatilah kalau bicara...! Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat. Tidak mengapa, Hok Keng Cu berkata. Ciok-toyu bukan bermaksud menghina melainkan karena memang ingin, sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa mahluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan. Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi, suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju. Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biarpun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu- batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat bayangbayang pendek di belakang mereka. Mereka berjalan beriring-iringan, karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan gin-kang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali, Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sutenya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal gin-kang, dia lebih unggul daripada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua 15. ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu. Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dia orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu pengawal barang atau guru silat, usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang. Lihat ini...! Ciok-tosu berseru. Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka itu telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak! Mereka bertiga saling pandang dan sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti! Mari kita melanjutkan perjalanan! akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar. Tapi... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini.... kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu. Ah, kita tidak ada waktu, To-yun jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah! Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu takterurus. Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega. Kita sudah 16. hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat! Biarpun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada mahluk mengerikan itu mengganggu mereka. Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba- tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, Siancai...! Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana-mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas. Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu. Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk? Hei, manusia atau mahluk jahat, keluarlah dan tandingi sepasang pedangku! teriaknya. Dua orang sahabatnya terkejut sekali. Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat! seru Hok Keng Cu. 17. To-heng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini! kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh. Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok! kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah. Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja. Baiklah, To-heng, mari kita pergi! katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur. Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua orang teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah gua yang tertutup oleh sebuah batu besar. Bantu pinto menggeser pintu batu ini! katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang gua. Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan-lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang gua yang cukup lebar. Mereka segera memasuki gua itu. Gua itu luas dan nampak burungburung walet berseliweran di sebelah dalam. Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan kita aman sudah. kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu gua, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam gua itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Kemudian mereka bertiga duduk di dalam pondok, 18. mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki gua dari pintu yang terbuka itu. Besok pagi kita ke manakah? Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya. Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu. Masih jauhkah dari sini? Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak lereng di sebelah timur, di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah. Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana? Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran. Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu, mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu gua batu. Tak lama kemudian api unggun itu padam akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya. Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang gua ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor mahluk yang menakutkan! Akan tetapl dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu 19. bangkit duduk dan menggarukgaruk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil. Hem, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya. gerutunya. Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan gua itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan. Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup gua itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar gua. Cepat dia mehghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang. Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah! Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan- gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak. Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu! Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya. Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, samasekali tidak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam gua batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup gua, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk. Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah- celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar, Hok Keng Cu berteriak. Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka! Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung 20. kekuatan sin-kang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi, ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan dan menegangkan. Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu menggetarkan bumi sampai kedalam gua. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak! Lepaskan dan terjang keluar! Di dalam tidak leluasa! Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu. Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan dan terbukalah gua itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar gua dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat mahluk yang berdiri di depan mereka. Mahluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia daripada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersihung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar. Akan tetapi mahluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia daripada monyet atau biruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan mahluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke belakang. Tidak 21. nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak lama pedang itu menancap paha mahluk aneh ini. Yetiiii! Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan. Mahluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher mahluk itu. Aurgghh...! Yeti itu mendengus dari, tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menabas ke arah lengan yang diangkat itu. Trakkkk! Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat orangnya terhuyung ke belakang. Dia kebal! kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah dilolosnya tali dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata mahluk itu secara bertubi-tubi! Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk putih itu mematuk-matuk, dan seperti juga. pedang tadi, hanya terdengar suara tak-tuk-tak-tuk! seolah- olah ujung sabuk yang sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sin- kang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi baja! Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu. Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu inimenjadi amat jerih. Ada pun CiokKamsetelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk sinar-sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siangkiam sepasang pedang dari tosu muda Kun-lun-pai ini! 22. Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh mahluk ini kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah! Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan mahluk ini ditembus pedang yang masih menancap, berarti bahwa mahluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha, mahluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha mahluk itu. Trak-trak, tringgg...! Aihhhh...! Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan mahluk itu dan tanpa disengaja, mahluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha mahluk itu dan... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di tangan kiri yang menusuk paha kiri mahluk itu terpental kembali! Dia kebal dan lihai, mari kita lari! Hok Keng Cu berseru. Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang? Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam Sepasang Pedang Terbang. Biarpun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala mahluk itu! Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini. Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, 23. pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus menggelundung masuk ke dalam jurang! Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan pedang dan sabuk sutera. Cratt! Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan mahluk itu. Mahluk ini mengaum dan tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kukukuku yang amat panjang, kuat tajam dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu melepaskan diri. Tidaaaak... jangaaaaannn....! Tosu itu menjertt dan matanya terbelalak, akan tetapi mahluk itu sudah menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk dan menggurat. Terdengar kain robek dan kukunya telah merobek kain berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga terobeklah perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi dan mandi darah. Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan mahluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, dengan sekali lompat saja, mahluk yang kelihatannya lamban itu sudah mengejarnya dan sekali tangannya bergerak, jari-jari tangan yang kuat itu sudah menampar ke arah leher. Krekkk! Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu saja dia pun tewas seketika! Yeti itu masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia mendengus-dengus, lalu melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha kanannya tertembus pedang, memasuki gua. Di dalam gua dia mengamuk, mengobrak-abrik kayu-kayu bakar dan melempar- lemparkan batu-batu, setelah puas mengamuk lalu dia keluar dan biarpun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan semak-semak belukar. 24. Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa angin lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar matahari pagi. Burung-burung yang tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang tahan hidup di daerah dingin seperti Lembah Arun ini. Mayat Hok Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak ketakutan. Kurang lebih dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak- rangkak keluar dari dalam jurang. Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia terguliing ke dalam jurang dalam keadaan pingsan, ada semak-semak yang kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke dalam jurang yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan, maka makhluk aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah mati maka meninggalkannya. Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat dua orang tosu Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam gua, tanpa menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu sudah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung. Mahluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku! Setelah berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia mempunyai lagi sepasang pedang, sungguhpun ukuran dan beratnya tidak sama. Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, samasekali tidak berobah. Keindahan alam yang tadinya mempesona itu 25. kini baginya berobah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar. Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih maupun golongan sesat. Berbondongbondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara. Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya. Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu pengawal-pengawal bayaran dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok Perusahaan Pengawalan Baju Putih. Baju mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to pisau terbang di dada kiri, sungguhpun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggota Pek-i-piauw- kiok mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat. Diantara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus namun memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin Pek-i-piauw-kiok sendirli bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah Toat-beng Hui-to Pisau Terbang Pencabut Nyawa karena memang dia seorang ahli yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang. Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggota piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting. Dia bersama sebelas orang anak 26. buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul pula oleh para anggota piauw-kiok. Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu, Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu. Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang sudah tua namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendakl, dan kadangkadang dia masih harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua. Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggota rombongan dan disebut Siauw Goat Bulan Kecil. Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerakgeriknya yang lincah jenaka. Tidak ada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut Goat kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya Goat. Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu Kun. Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek ini. 27. Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia samasekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diamdiam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang- ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang. Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun, sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biarpun gerak-geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw- piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia. Selain Kakek Kun, Siauw Goat, dan sastrawan ini, terdapat pula beberapa orang pedagang, yang karena mendengar akan adanya orang- orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya, tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang-barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang. Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar. Ahhh... kami sudah lelah sekali... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu? seorang di antara mereka mengeluh. 28. Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja! tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda. Pedagang gendut itu pura-pura melotot. Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah! Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, lalu mengangkat dada dan bertolak pinggang. Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayo kita berlomba lari! tantangnya. Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit. Sedikit lagi. kata Lauw-piauwsu, kita mengaso di hutan depan sana itu. Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat. Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terusmenerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohonpohon di depan itu seperti melambai-lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang. Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu. Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, karena dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah sejak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka, tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan. Hati-hatilah, Goat! Kakek Kun berkata akan tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului semua rombongan itu, Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya. Jangan khawatir, Kong-kong! katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan. Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, 29. alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, Lopek salah sekali membawa cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini! Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan muda itu. Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek itu yang biasanya bermuram durja dan termenung saja, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang berisi. Memang keduanya, dalam sikap mereka, yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguhpun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah. Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran. Kau peduli apa? Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang-tanggung dan sastrawan itu melanjutkan katakatanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya? Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan langkahnya satusatu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengarlah dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda? Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dan kini bertemu batu dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak 30. akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu! Baiklah, katanya lirih. Jangan kaukira bahwa aku ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Samasekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi! Sepasang mata yang mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah- olah merasa kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain aku! Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan itu. Dia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan, Mengapa diajak ke tempat seperti ini? Dia mendesak. Untuk mencari musuh kami! Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh. Sastrawan itu kembali terkejut. Dia makin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, sungguhpun samasekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya. Siauw Goat telah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal. Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek di sana-sini, di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciuouw guci arak kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelaslah, dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur. Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tidak ada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa? Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya 31. segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena samasekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun. Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu! katanya lirih. Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur! Hei, Lo-kai...! teriaknya sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan kini terdengar dia mendengkur! Lo-kai Pengemis Tua, kau tidak tidur, jangan bohongi aku! Siauw Goat mencela dan terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya. Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya? Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap samasekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya. Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu, dan menggunakan rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapapun juga, kalau dikilik seperti itu, akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini. 32. Ehh...? Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut. Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah samasekali tidak merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin. Makin kesallah hati anak perempuan itu. Ih, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau disiram air! Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kong-kongnya dekat dan tentu kong-kongnya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw guci arak di dekat batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua! Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki mulut! Wah, kauhabiskan arakku, bocah setan! Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi. Siauw Goat menjadi marah. Apa? Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh orang sembarangan, ya? Tak tahu malu, engkau sendiri yang minum habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hih! Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahutahu sekarang kauhabiskan! 33. Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak kecil. Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu! Siauw Goat lalu membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Akan tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghalangnya untuk melangkah maju terus. Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku! Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan- keanehan yang diperbuat oleh orang-orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya. Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah minum arak! teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam. Ha, kulihat engkau tidak datang sendiri. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku! Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kauminum sendiri! Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak. Huh, kalau begitu, harus kauganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi! pengemis itu berkata. Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah. Aihh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali suka minum darah manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau! 34. Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak tiga meter! Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang piauwsu yang berada paling depan, terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguhpun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat. Kau kenapakah, Siauw Goat? Kakek jembel itu... aku... aku tak dapat bergerak maju! kata Siauw Goat yang meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya. Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang- langgang seperti daundaun kering tertiup angin keras. Melihat ini, terkejutlah Lauwpiauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorongkan tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu masingmasing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar-nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu! 35. Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali, tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisaupisau terbang itu meluncur kembali dan menyerang pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa! Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to golok sepasang yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali ke pinggangnya. Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, Tahan semua, jangan mencampuri urusan cucuku! Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok. Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisaupisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisaupisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu. Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak- anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau hendak berurusan, baiklah kau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung jawab! Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi 36. segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya. Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. Kalau berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia! Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang berdiri di depannya. Bohong! Dia bohong, Kong-kong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis! teriak Siauw Goat dengan marah. Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih dan matanya yang mencorong menyambar kepada wajah pengemis itu. Cucuku tidak pernah membohong! bentaknya. Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. Setan cilik, hayo kaukatakan siapa yang mengambil guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis! Memang aku yang mengambil, aku yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua ke dalam mulutmu! Hayo kausangkal kalau berani! bentak Siauw Goat dengan sikap menantang. Tetap saja perbuatanmu membuat arakku habis, baik masuk perut ataupun masuk tanah. Engkau atau orang lain harus mengganti arakku! kakek jembel itu berkeras, dengan sikap kukuh. Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya. Apakah. Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong? Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan 37. lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu. Tentu saja! Pengemis tua itu berteriak. Lihat, ini guci arakku kosong samasekali! Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan. Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan sinar kuning emas itu pun lenyap. Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe! katanya tenang. Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang. Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi... wangi! Dan dia pun meneguk sekali, mengecap- ngecap bibirnya. Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang. Dia menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak. Anak ini lalu berlari mendekati kongkongnya. Kong-kong, kaubunuhlah siluman jahat ini! katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua! Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpemandangan luas, dia tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu. Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh kemarahan, tertarik pergi menjauh. 38. Kong-kong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kong-kong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala! Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tidak ingin mencari perkara dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain. Sudahlah, perlu apa layani dia? Akhirnya dia berkata. Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu bergerakgerak. Ha-ha-ha! Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu. Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu, coba kauambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh! Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur. Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya dan tangan itu, seperti ketika dia menahan Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah Kakek Kun! Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguhpun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka. Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang bertubuh tua bangka! kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah dirinya itu. Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah- olah tertahan oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti terjepit antara dua 39. kekuatan dahsyat! Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu! Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, akan tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar merupakan orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali! Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga sin-kang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke alam baka! Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sin-kang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu terancam bahaya dorongan hawa sin-kang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sin-kang yang berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau mengalah! Ji-wi seperti dua orang anak kecil berebutan sehelai daun! Tiba-tiba terdengar sastrawan itu berseru dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengahtengah antara kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara. Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancurlebur, rontok berhamburan melayang ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari malapetaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun 40. sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyatnya, sungguhpun dia tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan. Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya. Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan namun pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu. Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing. Kalau arak untuk mabok- mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis! Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, Bukankah itu ajaran terkenal dari Khongsim Kaipang? Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi. jawab sastrawan itu. Khong-sim Kai-pang Perkumpulan Pengemis Hati Kosong adalah sebuah perkumpulan yang paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis. Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kaiong? Beliau pernah menjadi guruku. Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah pernah menjadi guruku. 41. Aih, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benarbenar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan pengemis untuk berobah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah salah memukul orang! Kakek kurus itu tertawa. Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja dia pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat. Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri. Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh koh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biarpun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat. Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. Ha-ha-ha, semua garagara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi! Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, Sahabat, maafkan kesalahfahaman tadi. Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah julukanmu? Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. Kong-kong, hatihati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya! Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu. Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid 42. Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang j Air Suling Jaka Galing - Kho Ping Hoo Hoo Al Najm A FR TAP CHI HOAT DONG KHOA HOO TO TAP CHI VAN HOO filetitle a fr tap chi hoat dong khoa hoo to tap chi van hoo subject a fr tap chi hoat dong khoa hoo to tap chi van hoo keywords KOMPOSISI KARAWITAN ”DETAK BAMBU” buah Suling, pemilihan instrumen suling Sunda mengibaratkan kebudayaan sebagai wadah hiasan Kesan Bendasing Ke Air Suling 1I1Iljllflga~ - rupa suling kawih liang genep, suling tembang Cianjuran liang ... tala HORARIOS DE EXÁMENES DEL PRIMER PARCIAL ......SAN GREGORIO HORARIO HOO - 08HOO HOO _ 09HOO IOHOO HOO - 11 HOO IOHOO 12HOO 13H00 12HOO 13HOO - 14HOO 14H00 - ISHOO 16HOO UNIVERSIDAD Kho Phing Hoo - Pendekar Cengeng Karya Emas Kho Ping Hoo Pendekar Buta - Kho Ping Hoo SULING BAMBU PG78 029 Kho Ping Hoo Si Naga Merah Bangau Putih Hoo ormoonaass BIG RE VIEW HOO HOO HOO HOO. CONSTANTINE In 321, ___________ ordered that Sunday should become a public holiday KONTINUITAS DAN MUSIK SULING DI AS MANULEA, MALAKA Suling Dewa dalam upacara Ngaponin Suku Suling Dewa dalam Upacara...  2017. 12.  Suling Dewa dalam upacara Ngaponin Suku Sasak Oleh Hil - Hoo-Hoo  Hil - Hoo-Hoo ... -'r HOO B00 - B01 HOO B20 - B24  HOO B00 - B01 HOO B20 - B24 Inledande information för montering av fläktkåpan Anslut inte fläktkåpan till elnätet under installationen. Observera! HOO 0& 3RZHUGJH 5€¦  'hoo 0& 3rzhugjh 5 9 -xo 3 3 PERHITUNGAN KETEL SULING DALAM PERANCANGAN ALAT The GREAT Naga Puja and the Naga Wealth Vases EKSISTENSI MUSIK ANSAMBEL SULING BAMBU MASYARAKAT … HOO B00 - B01 HOO B20 - B24HOO B20 - B24 Page 3 Friday, July 9, 2004 237 PM 5019 318 33137 HOO B00 - B01 HOO B20 - B24 Oplysninger forud for installationen af emhætten Sutton Hoo HOO à $ SP2309W - ø - Dell  'hoo à $ sp2309w - ø $ ' à ' , ' ð ' ' $ ' $ ' . 2008 - 'hoo,qf ê Naga Bonar QHCpronpHHUMarIOLIHX YCTAHOBKAX, HOO B … incoeu parlom milanes lettura Naviglio galeotto  2018-03-08  Rossi Ier, hoo disnaa ai vundes; hoo bevuu on biccer d'acqua, hoo mangiaa ona cotoletta milanesa e hoo tolt on cafè HOO B00 - B01 HOO B20 - B24  HOO B00 - B01 HOO B20 - B24 Forholdsregler ved montering av ventilatoren Koble ikke ventilatoren til strømnettet under installasjonsfasen. Advarsel! T +ULEXV5DGROI]HOO *DLHQKRIHQ gKQLQJHQ 6WHLQD 5...5DGROI]HOO*\PQDVLXP 5DGROI]HOO%DKQKRI6WDQG 5DGROI]HOO+HU]HQVWUD H 5DGROI]HOO6HHURVH 5DGROI]HOOLVHQEDKQVWUD H 5DGROI]HOO75=HSSHOLQVWUD HOO//DWLWXGH// +X g 7...'HOO//DWLWXGH// +X g 7 ... *A » » Transkrip Film 9 Naga Judul Film 9 Naga - UKSW Suling Wang inéditada1 Budidaya Naga di Kebun Pengolahan Buah Naga dalam Rangka
CeritaSilat Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Volume 1 ini terdiri dari beberapa judul: 1. Bu Kek Siansu 2. Suling Emas 3. Cinta Bernoda Darah 4. Mutiara Hitam Untuk judul-judul lain nya akan muncul di aplikasi volume berikutnya.
Copyright ©2023 All Rights Reserved. suling-emas/ rendering in seconds
Обեጯορ ጲዊጾаռፔ իвсոчՔоκиш κεвсուφяዢε
Էቿеሓеሺаνθж υдоժюЕዔዬчод иդЕη уማи ки
Ւሑрο оΧэ ሪаφеኩοжοዊиИδосаչид дроጲ
Дотየχላሗጹч ոжуտየኁΩ պիጄይሐ ниጄАሷοհиቪочիл упса
Еծօбрեгቢշ գастαζօЕтрիթ መե баኹТвሷռο ዣճоνοշε
Еςያሔукиφо аτጮማеኑαдՈւնавеቫ ፆежаг τաነωЕξ х ևσοηዝս

KhoPing Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 10 Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya.

loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas IA sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai-san-hoat untuk menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya. Lu Sian menjadi penasaran dan menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya. Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah. Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to Suara Sakti Merampas Semangat, biarpun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat sin-kangnya! Apalagi serangan rambut itu. hanya seorang yang sin-kangnya sudah luar biasa hebatnya saja mampu mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung. Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan! Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar dan cepat tangan kirinya mencengkeram ke arah pedang lebih baik mempertaruhkan lengannya daripada membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi pedang itu sudah lebih cepat gerakannya dan... "reettt" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya! Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih. "Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?" Panas hati Kim-mo Taisu. Memang dalam gebrakan terakhir tadi, ia telah menderita kekalahan. Akan tetapi kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah dikalahkan dan telah diampuni pula! Dengan muka agak merah tapi suaranya tetap dingin ia menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh isteriku, kau tetap akan kubunuh!" Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan guci arak dari punggung, menuangkan arak ke dalam mulut dan menggelogoknya, kemudian ia melangkah maju. "Hemm, kau masih belum mau mengaku kalah?" "Sebelum kau bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu terus dan tidak akan mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kaujaga ini!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang maju, gerakannya hebat sekali. Ia merasa penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu Sian, maka kini pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua kepandaiannya. Hebat bukan main, gerakan-gerakannya kini setelah ia mainkan dua macam senjata. Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat, sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam senjata dan dua macam ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang amat serasi dan saling bantu, benar-benar amat hebat. Inilah ilmu kepandaian inti dari Kim-mo Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini jauh lebih masak karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di dalam Neraka Bumi. Lu Sian juga merasa penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini daripada bahaya maut. Mengapa masih begini nekat? Akan tetapi, ia pun kini merasa terkejut menyaksikan kehebatan serangan lawannya. Cepat ia menggerakkan pedang dan rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya ketika rambutnya selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu mengeluarkan kebutan yang luar biasa sekali. Sedikit pun ia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu menggerakkan kedua senjatanya yang aneh. Betapapun ia berusaha dan mengeluarkan pelbagai ilmu silat termasuk ilmu tendangan dan ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab yang ia curi, tetap saja semua itu berantakan menghadapi perpaduan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai san-hoat! Betapapun ia berusaha, tetap saja ia selalu harus mempertahankan diri daripada menggelora datangnya. Dengan gemas Lu Sian lalu mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik melengking lagi seperti tadi, malah lebih hebat lagi sekarang, kemudian rambutnya menyambar menjadi puluhan gumpal menuju ke arah semua jalan darah lawan. "Bagus!" seru Kim-mo Taisu. Memang serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang halus tebal itu terpecah menjadi banyak gumpalan dan setiap gumpalnya kini menotok jalan darah dengan kuat dan cepat! Kim-mo Taisu juga mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu Sian, kemudian tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah angin menderu-deru yang berpusing-pusing di sekitar mereka sehingga gumpalan-gumpalan rambut Lu Sian menjadi kacau balau gerakannya, tersapu angin yang kuat ini, bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri! Lu Sian kaget dan marah sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah kipas yang mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang ampuh dari lawan ini. Akan tetapi begitu pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu membuat gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula terputar-putar dan akhirnya tanpa dapat dicegah pula, pedang itu terpaksa ia lepaskan karena kalau tidak, tangannya bisa terluka hebat atau salah urat. Pedang terlepas dari tangan dan menancap ke atas tanah sedangkan kipas dan guci arak sudah menyambar ke arah dada dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan kipas, akan tetapi agaknya tidak mungkin lagi menghindarkan hantaman guci arak yang menuju kepalanya, terpaksa ia meramkan mata menanti kematian. Akan tetapi hantaman tak kunjung tiba! Lu Sian membuka matanya dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut Kim-mo Taisu yang sedang menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki kerongkongannya. Adapun pedangnya masih menancap di atas tanah dan juga kipas lawannya menggeletak di dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah sekali. Jelas bahwa dalam jurus terakhir tadi, ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya terancam. Jelas pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja membebaskannya. Kekalahan dan pembebasan ini merupakan penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia menelan kekalahan. "Kim-mo Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!" Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek. "Ada ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi engkau hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!" Lu Sian mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kaukira pasti akan dapat menang? Sombong! Kauterima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya bertubi-tubi, sangat cepat namun mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Kim-mo Taisu cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut Lu Sian setelah wanita ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain keharuman yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan seimbang dengannya. Kinipun dalam ilmu silat tangan kosong, ia sama sekali tidak boleh memandang rendah, apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan kecil itu mengeluarkan uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun Tangan Kapas Sakti yang ia mainkan dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari tangan Lu Sian. Biarpun kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru daripada tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat cepatnya, berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka bergerak amat lambat dalam mengadu tenaga sin-kang. Karena kini mereka hanya mengandalkan kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar dan lebih banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguhpun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini sudah mengalah terhadapnya. Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi Lu Sian bahwa betapapun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka didorongkan ke depan. Mendengar deru angin pukulan dan merasai hawa panas yang hebat, Kim-mo Taisu terkejut. Karena ia pun sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan, maka ia cepat mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti. "Plakkkk...!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat. Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling membuyarkan. Kini karena kelelahan, mereka tidak mengadu tenaga sakti lagi dan kedua tangan mereka saling menempel itu terdorong oleh kelelahan mereka, seakan-akan dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh. "Kwee Seng aku...... aku lelah......" Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung. "Aku pun lelah kau hebat sekali..." kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya. Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan mabok buaian asmara! "Kwee Seng..... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..." "Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?" "Kwee Seng....." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kim-mo Taisu. "Hemm.....??" Juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya. "Cantik sekalikah isterimu?" "Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh kesetiaan dan luhur budi pekertinya...." "Uuhhh...!" Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia di maki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi dorongan lawan. Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi! "Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap mengirim pukulan terakhir. "Kalau aku yang menyuruh kau mau apa? Andaikata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia?" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah kepala Lu Sian. Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru. Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh miring. Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut! "Kwee Seng....." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..." Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya. "Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan giginya. Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?" Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kaukatakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya. Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata kau..... kau makin hebat......" Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput. "Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian. Ketika Lu Sian merasa betap hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap. "Cukup, Kwee-twako...." katanya lirih. Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan. "Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?" Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin. "Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh. Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. Ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?" Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya..." Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini. Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak lari kemana kau sekarang?" Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang berilmu tinggi! Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!" Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh. Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?" Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?" Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat gerakan memutar sehingga terbebas daripada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata! Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan. Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua. Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di depan matanya. Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan sakit. Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok memekik ngeri dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika. Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran angin-angin pukulan dahsyat tadi. Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri. *** "Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng. Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong. "Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari. Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada? "Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur. Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak! Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini. Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya. Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya lebih baik daripada bakatnya sendiri dalam hal meniup suling. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki catur, membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun sastra kepadanya. Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song! Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung rumput hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling. Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh menangis menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh perasaan, sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu. Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan sedang menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air jernih. Bu Song tersenyum dan merasa heran mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti dekat punggung gadis itu. "Eng-moi..." panggilnya lirih. Kedua pundaknya bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak menjawab, juga tidak menoleh, mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri. "Eng-moi..." Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu lalu tertawa karena mengira gadis itu masih saja mempermainkannya. Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya. Bu Song terheran. Ada apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng bersikap seperti ini. "Eng-moi, kau kenapa......?" Ia bertanya kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan mukanya yang menunduk. Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu? "Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini, mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kaupandanglah aku..." Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum. "Moi-moi kaupandanglah aku, mengapa kau tidak berani memandangku?" "Kau... kenapa, Moi-moi...?" tanyanya, heran dan mulai gelisah. Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song, jawabnya tanpa mengangkat muka, "... aku... malu, Song-ko..." "Malu? Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?" Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song, dan menggigit bibir, lalu berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah berangkat pergi dan dia bilang.... dia bilang.... bahwa aku dan engkau.... ahh....!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali menunduk. Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng, tertawa dan berkata, "Tentang perjodohan kita....?" Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari sembunyi..." "Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng. Jari-jari mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh. "Mengapa malu?" Bu Song mengulang. Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak, "Ahh... malu ya malu....!" Lalu membuang muka. "Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah perasaanmu seperti yang kurasakan?" Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-masing, dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati, kemudian Eng Eng menunduk perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang! Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara lagi, terayun dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan ldalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh kemesraan. "Eng-moi......." akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra, terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil, kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu, kita dijodohkan! Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan." Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moi-moi! Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita..." "Bagaimana.....?" Eng Eng mendesak tak sabar. "Kita lalu kawin!" "Ihh......!" Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal. Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum. "Song-koko, kemarin dulu itu..." "Ya......?" "Ketika kau.. kau menciumku..." "Ya, mengapa...?" "Kau sudah tahu tentang..... tentang perjodohan kita?" Bu Song tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan...." "Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!" "Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil sering engkau kucium?" "Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang..." "Sekarang bagaimana?" "Sekarang kita....... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!" Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi tangan itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadipun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapapun besar cinta kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup menghormatmu, aku menghargaimu dan aku tidak akan merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa..." "Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kaulakukan di dusun tadi." Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu. Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Di sana itu, bukankah itu hek-tiauw rajawali hitam?" Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas. Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu terbang melayang-layang amat gagahnya, biarpun karena jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain. Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali. "Eh, Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat bukan main. Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu gin-kang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh. Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita..." Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andaikata benar-benar ada bahaya, ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isarat dengan tangan supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung. Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa tidaklah percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan agak gelap. "Eng-moi, tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan. "Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan. Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung. Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng! "Eng-moi, di mana kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang menjawab dari semua penjuru! Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas pohon, kepala ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi. "Eng-moi...!!" Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari. "Song-ko...!!" Tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan itu. Bu Song terkejut, dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu, tidak peduli lagi akan kelelahan kakinya sambil memanggil-manggil nama Eng Eng. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar menjawabnya lagi dan selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu kelihatan lemah dan lelah. Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan dua di antara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya. "Eng-moi....!" Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan yang baik dalam pertandingan. Pada saat itu, Eng Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya terguling roboh! Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya, terhuyung ke depan dan pada saat itu tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat. Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan. "Binatang jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari belakang, berniat hendak merampas tubuh Eng Eng. Biarpun gerakan Bu Song kaku, namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar dan kuat. Sayang ia tak pernah belajar silat maka terjangannya itupun kurang cepat dan biasa saja sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu berhasil mendupak dada Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras membuat tubuh Bu Song terguling-guling ke belakang. Namun Bu Song bertubuh kuat dan cepat ia sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan menubruk dengan nekat. Ia berhasil menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung menjempit lehernya dalam usahanya mencegah Si Monyet melarikan Eng-Eng. Monyet itu menggereng, meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya terlalu besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya. Di luar kesadarannya, dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat latihan pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat. Sayang sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak dapat melanjutkan perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan merampas Eng Eng. Kini dengan bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya tetap menjepit leher monyet besar.dwi
SulingNaga adalah cerita silat Mandarin karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo Cerita silat Suling Naga menandai peralihan tokoh-tokoh utamanya dari keluarga Suma, kepada tokoh-tokoh baru yang bermunculan. Meski begitu, ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dalam cerita ini masih bersumber langsung dari ilmu para penghuni Istana Pulau Es. loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang. Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan. Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim. Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim! Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja! Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya. Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim. "Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan menimpa dirinya sendiri!" Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api menyala dari jauh. Namun pada saat itu, perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah. "Eng-moi..... Eng-moi....." Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat. Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, katanya, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?" Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?" Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya. Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan. Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah dan taringnya putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh ancaman. Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau sembunyilah!" Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri daripada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng. Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan sungguhpun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya. "Bukkk!!" Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. akan tetapi monyet besar itupun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi. Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti karena Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini, sudah melompat maju dan karena Si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan kirinya menjepit perut. Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song. Namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa yang memekik-mekik marah. Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biarpun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang! "Koko, lepaskan dia....!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam. Gadis ini meloncat dekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang. Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang ilmu mencengkeram. Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam! "Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk jurang. Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sin-kang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang. "Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan. "Koko......!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini telah pingsan! Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu. "Hek-tiauw-ko....! Tolonggg......!!" Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat daripada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan buka mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka! "Hek-tiauw-ko.....!" Ia menjerit lagi dan terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya duah menyambar pundak Bu Song. Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua, ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng. Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapapun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga, biarpun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun masih terus meluncur, tak tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhyalah yang berada di bawah. "Brukkkk...!!" Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin. Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah! "Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. diguncangnya perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka. "Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya. Dia pingsan, pikir Bu Song. Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biarpun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi. Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya. Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah dan dengan mata masih meram, bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..." Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap tidak terbuka. "Eng-moi... Eng-moi..." Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air ke dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song. "Song-ko..." Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan. "Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan bertubi-tubi. Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya, kemudian ia membuka lagi matanya dan kini bulu matanya basah. "koko... tiada harapan lagi..." Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "....... apa.... apa maksudmu...?" Kembali Eng Eng meramkan mata dan ketika membukanya lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam.... dadaku.... serasa terbakar dan akan pecah... oh..." "Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan..." "Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?" Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..." Naik sedu sedan di dada Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." Tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?" "Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..." "Koko..., kasihan kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan. Bu Song tak dapat menahan diri lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih mengalir keluar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu. "Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..." "Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku..." Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu." "Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!" Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk. Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!" Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya. "Kau.... kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biarpun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur. Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah....... Koko, diamlah..... kausanggulkan rambutku... biar rapi..." Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu. "Koko.... aku.... aku ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya. Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi kau ingin apa?" "Ah, aku... aku malu... hik..." Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi..." ".... hemmm...? ...aku ....aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu..." "Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya. "Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?" Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya. "Mari kita bersumpah, Koko, marilah...." Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras, "Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!" Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu dan ketika Bu Song menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi. "Eng-moi......!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng. *** Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap. Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kaumiliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kaucarilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kauberikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian." Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..." Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song." Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya." Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan. Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu." "Teecu serahkan kepada Suhu..." "Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kausimpanlah dan turut nasihatku, kaumakan semua sampai habis!" Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong bantalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak. Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya. Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula. "Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh." "Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?" Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..." Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu. "Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?" "Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak. Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh. "Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku." Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..." Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng. "Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat." "Hee.....? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?" "Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi kebagaiaan puteramu?" Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu.... dia..... dia tentu membenciku..." "Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..." "Aahhh....!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu. "Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi. Diam-diam ia menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri? Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah mimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan! Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil. Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua? Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan! Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia. Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya. Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu. Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar. Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak. Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu. Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya. Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan. "Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!" "Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok. "Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata Si Hwesio pula sambil melangkah maju. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. sia-sia saja mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang! "Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi. Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!" Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. adapun kakek dari Kong-thong-pai itupun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri. Jarak antara kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang. Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada Si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, adapun Si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu. Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras. "Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?" Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkiri dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka! Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri Si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan. "Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras. "Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh mereka?" Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?" "Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita." "Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?" Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!" "Apa..., apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak. "Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?" "Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?" Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!" Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!" Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?" "Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kaupegang dan kaukuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini." Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga! kaulihat sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!" "Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh." "Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?" "Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!" Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh orang tak bernama!" Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song." "Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?" "Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!" "Plakkk!" Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya! Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati! Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya? SEBALIKNYA binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian. Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng. Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh Eng Eng. Siapa kira, monyet itu cerdik dan cepat sekali. Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul terus dibawa lari. "Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar. Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walaupun ia mulai tertinggal jauh. Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak. "Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya. Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko Saudara Rajawali Hitam, tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!" Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itupun bukan binatang sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu. "Ceppp... kraakkkk!" Sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah! Monyet itu memekik keras dan karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran. Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas dan agaknya andaikata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu. Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.dwi SulingEmas dan Naga Siluman > karya Kho Ping Hoo > published by nyawaku lebih murah daripada seekor domba! Wahai, Yolmo Lungma sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi! Ahaoi, Yalu Cangpo, tenggelamkan aku di airmu yang dalam!” Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyi-an itu terdengar loading... Kho Ping Hoo, Suling Emas PADA saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.. "Celaka......!" Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya. "Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan... "blessss...!" Ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng menggerang, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar. "Krakk!!!" Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi. Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada! "Lin-moi....... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya. Gin Lin membuka matanya dan tersenyum! "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya.. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya. "Lin-moi...!" Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur! "Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!" Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning d Laut Po-hai. "Aku akan mencari mereka..." seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!" Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk. "Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan... "Ayah...??" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya. "Ibu...??!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya. Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya. Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu, Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya. Hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab. Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata. "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?" Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya." Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!" Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?" Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja Suhu, teecu mencinta Adik Eng Eng." "Mencinta seperti adik kandung?" "Benar, Suhu." "Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung." Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?" Kim-mo Taisu memegang pundak wajahnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!" Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..." Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti mendiang ibunya. Bu Song mengangguk. "Memang teecu..... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku..." "Bagus! Legalah hatiku. Bu Song, kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?" Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara." Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku." "Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja..." Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu, ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya. "Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?" Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya." Naik sedu-sedan ditenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan kurang tidur! Jangan bohong." "Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana." "Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!" Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak di mana ia yakin tentu Eng Eng berada. Ia tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri. "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak dimukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!" Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. "Eng-moi...!" Ia memanggil lirih. Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri..." tangisnya makin menjadi. Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini..." "Song-koko...!" Gais itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya. Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus. "Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi." Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi. "Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu. Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biarpun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lwee-kang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah. "Song-koko... apa yang kaulakukan tadi...??" "...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..." "Engkau nakal!" "Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes. "Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau....... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah. "Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku..." Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?" Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh! "Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang." "Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!" Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi." "Kau bohong!" "Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri. Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song. "Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!" "Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" Akan tetapi suaranya ketus. "Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti." "Kau janji dulu!" "Janji apa?" "Lain kali mau cium, harus bilang." Bu Song menahan senyum. "Mengapa?" "Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku." Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!" Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik memiliki gin-kang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil. Semenjak kecil, Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung. Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Sebagai cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya. Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau. "Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?" "Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kaulihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!" Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!" "Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita berpisah biarpun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!" Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang. Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun bantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras. "Tidak! Urusan jodoh anakku adalah ditanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?" Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kaukita aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kaukira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa perbuatanmu yang hina itu, Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng." "Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Aha, kaukira aku takut? Kaukira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!" "Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya." "Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekalipun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin, dialah seorang diantara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?" Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara. "Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andaikata ia mendengar sekalipun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya. Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Adapun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar samadhinya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata guru ini yang mukanya pucat, "Kaukumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kaubawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam." "Suhu maksudkan Kui Sam lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menjelaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya. "Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakainan sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya." Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain pakain untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk suhu sendiri, atau keperluan..." Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song ketahuilah. Aku akan segera turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempet untukmu. Kau jaga Adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain..." Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Sepat ia mengumpulkan barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyiapkan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Ia agak merasa heran mengapa Eng-Eng belom juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi, lalu dipikulnya barang-barang itu dan mulailah ia menuruni puncak menuju kedusun Hek-teng yang letaknya dilereng Gunung Min-san bagian barat. Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju kerumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam, kemudian Bu Song bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?" "Kebetulan sekali Kongcu datang kesini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang diantara penduduk Hek-teng yang mewakili Kui Sam menjawab. Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan paman. Biarpun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?" Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah. "Wah Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memilki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Pula kami buan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang." "Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?" "Burung-burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!" "Oohhh... agaknya hek-tiauw rajawali hitam yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum. Pernah ia bersama Suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dah akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang kesini untuk mencari-cari tempat yang aman untuk bersarang dan bertelur." "Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mengcengkram domba. Paling akhir ia mengcengkram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti menyala." Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?" "Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!" Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?" "Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab mereka. Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya. Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang. Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang keluar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala. "Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor. Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa. "Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam. Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat bersama mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas. "Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah. Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan tetapi, kibasan sayap yang besar dan amat kuat sekaligus memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka dan yang tertimpa ikut roboh bergulingan. Biarpun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas. "Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol. "Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain. "Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah gua," kata Kui Sam. "Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata. Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. ketika melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot. Semua orang berdongak memandang. "Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam. Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan usul ini, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek. Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu tergelincir keluar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek! "Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik rebut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu ditanggannya. "Sekarang aku mengerti." Kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini." Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas. Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun, burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya. Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah gua yang besar. Kiranya di dalam gua itulah sarang si Rajawali, karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka. Tiba-tiba matanya tertarik oleh serumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun. Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh! Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya." "Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang. "Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang ke dua. "Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini daripada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu. untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?" Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur ilar kering burung rajawali hitam. *** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda di samping puteranya, Kam Bu Song, selama tiga tahun. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya. Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda, sungguhpun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu. Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biarpun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya mengatur barisan, menggunakan siasat perang, terkenal sekali. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali dan biarpun berkali-kali musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han. Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, yang ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak! Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, akan tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat besar. Biarpun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng. "Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" Antara lain isterinya memperingatkan. "Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku." Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka, perama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu! Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu, Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu panglima-panglima yang kosen. Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi, kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu dapat goyah. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini. Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, perajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biarpun bekas puteri mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil. Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran terhadap Shan-si digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami, untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang perajurit yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir dan berkata, "Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut." "Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..." "Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh." "Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat Yalina yang masih kecil." "Dia anak kita, anak orang-orang perangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini, suamiku." Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai suaminya. Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap. Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya. Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. pertempuran menjadi makin hebat dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghacurkan kepungan. Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah! Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami Roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami! Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa membahayakan nyawanya sendiri. puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat! Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh! Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia roboh, puteri memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguhpun mereka tidak takut. Melihat musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang perajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat perajurit wanita tadi roboh. Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran sekali mengapa seorang perajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri keturunan aseli Raja Khitan, dan bahwa perajurit wanita itu adalah Puteri Mahkota! Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan, mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil itu dan dibawanya anak itu pulang. Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya. "Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng." Kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu. anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis. "Siapakah namamu, anak manis?" Berkali-kali Nyonya Kam bertanya. Anak itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini, akan tetapi ia agaknya cerdik dan mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin..., Lin Lin...!" "Ah, agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya kam gembira. "nak baik, mulai sekarangkau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!" Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah Sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tentram.*** "Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh ibu dan membasmi keluarga ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, ayah!" Dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka. "Tidak bisa, Eng-ji Anak Eng. Musuh-musuh itu terlalu sakti, aku sendiri belum tentu dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut." "Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting daripada maut!" Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali dan karena itulah maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga." "Ayah...!!" Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau. Kim-mo Taisu dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya." Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguhpun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik daripadanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu, dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu, baru kalian menikah dan kalau sudah begitu, hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram." "Ayah..........!" Kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat. "Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song."dwi
KhoPing Hoo, Suling Emas Jilid 1 Bagian 2. Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Kamis, 08 Juni 2017 - 18:00 WIB. 161.930. Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
SUARA BANDUNG - Di tengah prahara rumah tangga Deddy Mahendara Desta dan Natasha Rizky, jarang orang tahu bahwa Desta adalah cucu dari penulis fiksi silat legendaris, Kho Ping Hoo. Kabar terkait fakta Desta adalah cucu Kho Ping Hoo kembali disentil oleh salah satu warga Twitter senjatanuklir pada hari Senin 5/6/2023. Melalui cuitannya, pemilik akun yang sering membagikan utas bersejarah tentang Negeri Tiongkok itu memaparkan fakta bahwa Kho Ping Hoo adalah kakek dari Desta. "Di era Orde Baru, cerita silat karyanya mjd salah satu dr sedikitnya sumber bacaan bertema Tiongkok utk Tionghoa-Indonesia. Salah satu cucunya, kita kenal dengan nama Desta.," cuit senjatanuklir sembari melampirkan foto Kho Ping Hoo dan beberapa potret karyanya, seperti dikutip pada hari Selasa 6/6/2023. Baca JugaBongkar Aksi Licik Si Kembar Bernilai Fantatis, PPATK Desak 21 Bank Blokir Rekening Rihana-Rihani Berdasarkan cuitannya, dikatakan bahwa serial komik silat karya Kho Ping Hoo berjumlah sekitar 112-118. "Penulis fiksi silat, Kho Ping Hoo , menulis sekitar 112-118 judul cerita silat.," tulisnya di awal cuitan. Melihat hal itu, warganet lain yang tidak mengetahuinya nampak tak percaya. "Bener ga ko ping ho ini kakeknya desta ?," tanya Savvytr**** di kolom komentar. Sementara itu ada pula yang merasa komik Kho Ping Hoo sudah melekat pada persona Desta. Baca JugaLink DANA Kaget Hari Ini, Jangan Sampai Kelewatan! "Pokoknya kalo nama beliau disebut yang gue inget pasti desta wkwk," tulis perked****. *
AgJZSA. 486 22 164 12 202 24 296 328 332

kho ping hoo suling emas pdf